Terkadang kita tidak perlu melihat pemandangan di luar jendela sekalipun pemandangan itu begitu indah.
Namaku Yudi, aku seorang guru honorer di sebuah SD. Gajiku sebulan hanya satu juta lebih sedikit. Sementara istriku, Intan, adalah seorang ibu rumah tangga yang menyambi berjualan kue kering secara online. Kehidupan kami amat sederhana tapi alhamdulillah kami bahagia, tak pernah merepotkan orang lain apalagi sampai berhutang. Kami memiliki dua orang putri 8 tahun dan 4 tahun usianya. Keadaanku secara materi sangat berbanding terbalik dengan kedua kakakku. Kakak pertamaku namanya mbak Dewi seorang dosen di universitas terkemuka sedangkan suaminya menjabat sebagai dekan di tempat yang sama dengannya. Kakak keduaku laki-laki namanya Mas Doni dia bekerja di sebuah perusahaan asing dengan gaji fantastis. Mungkin bisa dibilang gajiku setahun pun tak akan ada apa-apanya dengan gajinya sebulan.
Keluarga besarku rata-rata memang berasal dari kalangan terpelajar dan berada. Rahimahullah ayahku merupakan sulung dari lima bersaudara. Terlebih para sepupuku, pekerjaan mereka rata-rata menghasilkan rupiah yang fantastis. Ada Dela yang menjadi seorang pialang saham. Rudi yang menjabat manager di salah satu perusahaan IT dan masih banyak lagi sepupu-sepupuku yang lain yang memiliki prestasi dalam hal status sosial dan pekerjaannya. Hanya ada satu orang saja sepupuku yang taraf hidupnya sama sepertiku, hidup sederhana di perumahan 6x6. Namanya mas Irwan dia bekerja sebagai penjual madu dan herbal sementara istrinya memiliki usaha catering. Dari semua sepupuku dialah yang paling dekat denganku. Sering berkunjung ke rumah sambil membawakan aneka lauk masakan istrinya. Begitupun aku terhadap keluarganya juga sangat dekat. Mungkin kedekatan kami juga dipengaruhi dengan latar belakang strata sosial yang sama, tidak ada kesenjangan yang membuat kami merasa saling tak enak hati.
Kami semua tergabung dalam grup WhatsApp keluarga. Bani Soejarwo namanya. Nama kakekku yang merupakan seorang purnawirawan. Lima saudara dari ayahku hanya bersisa dua orang, yakni adiknya yang nomor tiga namanya tante Lisa dan nomor lima namanya om Agus, sementara yang lainnya tlah berpulang. Di grup itu aku lebih sering diam, sangat jarang posting. Paling hanya berkomentar ketika para sepupuku memposting sesuatu. Sebisa mungkin aku memberikan respon positif penuh apresiasi. Aku turut bahagia dengan kebahagiaan mereka. Saat mereka memposting foto liburan ke luar negeri aku selipkan emoticon jempol dan juga kata penuh apresiasi.
Hingga suatu ketika untuk pertama kalinya aku memposting foto putri sulungku yang sedang mengikuti lomba tahfidz. Bukan atas keinginanku melainkan putriku sendiri yang memintanya agar keluarga besar mengiringi usahanya dengan doa, tidak ada maksud lain selain itu. Aku beri caption di foto itu.
"Oma, Opa, Om, dan Tante semuanya doain Alya, ya. Semoga diberi kelancaran dalam mengikuti lomba"
Selang satu jam berlalu tak ada satu pun yang merespon foto itu, padahal hampir semua anggota grup telah melihat postinganku itu. Lalu beberapa menit sebelum Alya naik ke pentas mas Irwan membaca pesan itu dan mengucapkan doa untuk Alya.
"Semoga sukses ya ponakanku yang sholihah ..."
Sesaat kemudian kakak kandungku mbak Dewi pun mengucapkan hal yang sama. Mbak Dewi memang sangat baik orangnya, meski kaya raya dan berpendidikan tinggi dialah saudaraku seorang yang tak pernah memandangku rendah.
Selang 10 menit setelah Alya turun dari podium lomba. Tiba-tiba gawaiku berbunyi. Sebuah pesan masuk di grup keluarga. Rudi menampilkan foto kedua putranya yang sedang berseluncur di atas salju tanpa caption apa-apa. Dan tak perlu menunggu lama, semua anggota grup riuh me-reply foto itu dengan penuh pujian.
"Masya Allah ... barakallah jagoannya Pak Rudi"
Putriku Alya mengintip gawaiku sambil bertanya.
"Om dan tante semuanya uda doain kesuksesan untuk Alya ya,Yah?"
Aku hanya mengangguk dan tersenyum sambil buru-buru kumasukkan gawai itu ke saku.
"Iya sayang. Alhamdulillah semuanya mensupport Alya"
Putriku tersenyum bahagia, sementara aku berusaha menarik nafas panjang agar rongga dadaku mengembang. Sebenarnya ini bukan kali pertama terjadi di grup itu. Kejadian serupa pun begitu sering terjadi meski bukan aku yang alami. Seringkali ketika mas Irwan, sepupuku yang memiliki kehidupan sederhana sepertiku memposting sesuatu di grup itu maka grup akan hening tak ada yang mengapresiasi, hanya aku seorang yang mereply tiap postingannya. Padahal mas Irwan ini tipe orang yang baik pribadinya, tutur katanya sopan dan seringkali pula mengingatkan hal-hal penuh kebaikan. Mungkin karena kemuliaan akhlaknya itu sekalipun dia tak pernah dianggap di grup keluarga dia tak pernah sakit hati walau acapkali dicuekin tak pernah kecewa. Tak pernah berhenti menebar salam, sapa dan manfaat. Lain halnya jika yang memposting adalah mereka yang 'berada' maka yang lain akan berbondong-bondong mereply dan berbalas komentar dengan begitu renyahnya. Saat aku menyadari bahwa grup itu memang tak sehat, sebenarnya aku malas tergabung di dalamnya, sebenarnya ingin keluar dari grup tapi aku sungkan pada mbak Dewi yang telah membuat dan memasukkan aku kedalamnya. Mas Irwan saja yang seringkali ngga dianggap masih selalu berdamai dengan keadaan dan tak henti menebar salam serta manfaat. Realita itu membuatku sadar diri, aku hanya menjadi silent reader disitu. Silent reader dalam artian tidak pernah memposting apa-apa, kecuali mereply kalimat apresiasi pada mereka yang memposting aktifitasnya. Bukan bermaksud bermuka dua, aku hanya berusaha menjaga hubungan sesama anggota keluarga. Bagaimanapun juga mereka adalah keluarga dari ayahku dan aku memiliki kewajiban untuk terus menyambung silaturahmi bersama mereka.
Pernah suatu ketika aku berkunjung ke rumah Dela sepupuku yang merupakan anak tante Lisa. Aku datang mengendarai motor supra bersama istriku dan kedua putriku. Kami menempuh jarak sekitar 3,5 jam perjalanan. Istriku sangat antusias dan senang sampai-sampai semalaman dia begadang membuat pai buah, nastar dan stik keju untuk buah tangan. Ini adalah kali pertama aku dan keluargaku datang berkunjung ke rumah Dela sebab sebelumnya dia tinggal di luar negri baru beberapa bulan ini dia pindah dan menetap di sini. Rumahnya begitu besar persis istana. Di samping rumah megahnya itu berjajar 3 mobil sedan mewah. Sesaat setelah mengetuk pintu seorang wanita muda membukakannya. Ternyata itu pembantu Dela dan dia bertanya siapa kami ini, setelah kami jelaskan bahwa kami sepupu Dela wanita muda itu menyuruh kami menunggu di kursi teras.
Kami menunggu cukup lama, hampir satu jam. Putri bungsuku hingga merengek tak sabar minta pulang. Aku hibur dia supaya bersabar. Dan akhirnya Dela dan tante Lisa pun keluar. Aku suruh kedua putriku mencium tangan mereka. Istriku menjabat tangan mereka sambil mengulurkan tas karton berisi buah tangan yang tlah dia siapkan semalaman, Dela raih tas itu kemudian meletakkannya di samping pot bunga. Tak lama setelah kami mengobrol tiba-tiba sebuah mobil sedan mewah memasuki halaman rumah Dela. Sesaat kemudian Rudi sepupuku anak sulung Om Agus keluar dari dalamnya. Ia tak datang sendiri tapi ditemani istri dan kedua putranya. Dela dan Tante Lisa menyambut mereka dengan begitu hangat. Memeluk istri Rudi dengan erat dan menciumi kedua putranya. Sejenak Rudi menghampiriku dan kujabat tangannya.
Kami mengobrol sebentar sambil berdiri di teras itu. Sementara kulihat tante Lisa dan Dela telah mengajak istri Rudi dan kedua putranya masuk ke dalam rumah. Kulirik istri dan kedua putriku masih terdiam mematung di kursi teras tanpa ada seorangpun yang mengajak mereka turut serta masuk ke dalam. Setelah mengobrol ringan Rudi berpamitan untuk mengambil barang bawaannya dari mobil. Nampaknya dia membawa sebuah parsel berisi coklat mahal dari New Zealand. Dela meraih parsel itu dengan sumringah
Aku terdiam sambil menatap wajah istriku yang nampak tertunduk penuh kesedihan. Dia berusaha menyembunyikan kekecewaannya tapi aku bisa menangkap raut kecewa itu. Kami menunggu di teras barangkali si tuan rumah lupa bahwa masih ada kami 'tamu yang lainnya' yang belum sempat mereka persilahkan untuk masuk. Selang 20 menit kemudian nyatanya mereka tak ada keluar. Kami mendengar mereka sedang asyik mengobrol dan tertawa begitu hangat di dalam. Akhirnya kami memutuskan untuk berpamitan, saat ada pembantu Dela lewat kami panggil dia untuk menyampaikan kepada majikannya. Dela pun keluar sendirian tanpa tante Lisa. Aku pamit kepadanya dan istriku menjabat tangannya. Aku starter motor supraku yang terlihat butut itu. Sebuah motor yang rasanya tak pantas terparkir di depan rumah mewah berpilar bak istana. Saat kami hendak berlalu pergi dari halaman itu, aku sempatkan melirik dari spion motorku tas karton berwarna coklat dari istriku masih tergeletak di atas lantai samping pot bunga. Sedangkan Dela telah berlalu pergi masuk ke dalam istananya. Aku menghela nafas panjang sambil beristighfar dan berharap semoga Intan istriku tidak melihatnya. Selang beberapa kilometer dari rumah Dela. Putri bungsuku berkata,
Deg.. teriris rasanya dadaku. Bahkan segelas air pun tak mereka suguhkan pada kami yang nyaris 4 jam kepanasan naik motor di perjalanan. Akhirnya kutepikan motor bututku di sebuah minimarket. Aku belikan anak-anakku sebotol minuman dingin dan beberapa bungkus snack. Saat duduk di depam minimarket tiba-tiba gawaiku bergetar. Sebuah pesan WA dilengkapi beberapa foto tertampil di grup keluarga. Tante Lisa menuliskan
"Ayo yang lain dimana nihh ... di rumah tante ada Rudi lagi nikmatin masakan tante, Dewi, Doni, Indah, Yona pada kemana nih?"
Yang dipanggil hanya mereka yang 'hebat' pastinya. Aku tutup gawaiku takut jika istriku mengetahui akan hal itu. Semenjak saat itu aku semakin sadar diri bahwa mengakrabkan diri pada orang-orang yang salah hanya akan membuat dada terasa sesak. Adakalanya kita butuh jarak agar tetap bisa bernafas dengan lega. Terkadang kita tidak perlu melihat pemandangan di luar jendela sekalipun pemandangan itu begitu indah. Aku tidak keluar dari grup WA keluarga tapi aku non-aktifkan segala pemberitahuan darinya. Agar tak ada lagi celah dalam hatiku untuk merasakan sakit hati. Agar aku lebih menikmati hari-hariku yang indah dengan istri dan kedua putriku tanpa bayang-bayang rendah diri karena berada di tempat yang tak semestinya yakni grup WA keluarga.
***
Disclaimer: cerita yang kami bagikan murni salinan dari berbagai sumber dengan sedikit perbaikan ketik sekadar menyesuaikan ejaan tanpa mengubah isinya.
Barakallahu fiikum
ReplyDelete